Oleh: prof. Dr. ahmad satori ismail
Dalam sejarah ulama salaf, di riwayatkan bahha khlifah Ar-rasyidin ke-V Ummar bin abdil aziz dalam suatu tahajudnya membaca ayat 22-24 dari surat Ash-shof yang artinya : (kepada para malaikat di perintahkan) “ kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta teman sejawat mereka beserta sesembahan yang selalu mereka sembah selain Allah SWT, maka tunjukanlah kepada mereka jalan ke neraka. Dan tahanlah meereka di tempat perhentian, k arena sesungguhnya mereka akan di tanya (di mintai pertanggung jawaban).”
Beliau mengulangi ayat tersebut beberapa kali karena merenungi besarnya tanggung jawabseorang pemimpin di akhirat bila melakukan kedzliman. Dalam riwayat lain Ummar bin khatab mengungkapkan besarnya tanggung jawab seorang pemimpin di akhirat nanti dengan kata-katanya yang terkenal : seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad niscahya umar akan di mintai pertenggung jawabannya, seraya di Tanya : mengapa tidak di ratakan jalan untuknya…? Itulah dua dari ribuan contoh yang pernah dilukiskan para salafus sholihin tentang tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah SWT kelak.
Pada prisipnya tanggung jawab dalam islam itu berdasarkan atas perbuatan atas individu saja sebagai mana di tegaskan dalam beberapa ayat seperti ayat 164 surat Al-an’am : “ dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Dalam surat Al-mudatsir ayat 38 dinyatakan : “tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah di perbuatnya”. Akan tetapi perbuatan individu itu merupakan suatu gerakan yang di lakukan pada waktu, tempat dan kondisi-kondisi tertentu yang mungkin bias meninggalkan bekas atau pengaruh pada orang lain. Oleh sebab itu apakah tanggungjawab seseorang terbatas apda amalannya saja ataukah bias melewati batas waktu yang tak terbatas bila akibat dan pengaruh amalannya it uterus berlangsung mungkin sampai setelah dia meninggal….......?
Seorang yang cerdas selayaknya merenungi hal ini sehingga tidak meremehkan perbuatan baik sekecil apapun dan tidak gegabah berbuat dosa walaupun sekecil biji sawi. Mengapa demikian….? Boleh jadi perbuatan baik atau jahat itu mula-mula amat kecil ketika di lakukan, akan tetapi bila akibat dan pengaruhnya terus berlangsung lama, bias jadi akan amat besar pahala ayau disanya.
Allah SWT menyatakan : kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (yaasiin:12). Ayat ini menegaskan bahwa tanggungjawab bukan hanya apa yang di perbuatnya akan tetapi melebar sanpai semua akibat dan bekas-bekas akibat tersebut. Orag yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat, shodaqoh jahiriah atau anak yang shaleh, kemsemuanya itu akan meninggalkan bekas kebaikan selama masih berbekas sampai kapanpun. Dari sini jelaslah bahwaorang yangberbuat baik ataupun berbuat jahat akan menanggung pahala atau dosa di tambah pahala atau dosa orang-orang yang meniru perbuatanya. Hal ini di terangkan dalam surat An-nahl 25 :’’ (ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak tahu sedikitpun bahwa mereka disesatkan. Ingatlah amat buruklah dosa yang mereka pikul itu..”
Di sini kita mereneungsejenak seraya bertanya….? “apabila yangmemerintah kejahatan atau kedurhakaan itu seorang pemimpin yang memiliki kekeuasaan penuh, apakah dia saja yang akan menanggung dosanya dan dosa rakyatnya karena mereka di paksa..? ataukah rakyat juga harus menanggung dosanya walaupun ia lakukan di bawah ancaman paksaan tersebut….? Menurut hemat saya…! Seorang penguasa di anggap tidak memaksa, selama rakyatnya masih menghendaki kepemimpinannya. Perintah seorang pemimpin secara lisan maupun tulisan tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggung jawab atas semua perbuatannya. Al-Quran mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alas an pimpinannya menyuruh berbuat dosa. Allah SWT menyatakan..: pada hari ketika muka mereka di bulak-balikan di dalam neraka, mereka berkata, mereka berkata… alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat kepada Rosuln’’ dan mereka berkata… ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar’’. (Al-Azhab 66-67). Allah membantah dengan tegas:’’ harapanmu itu sekali-kali tidak akan member manfaatkepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dengan azab itu.’’(Az-Zukhruf 39)
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan mampu memaksa seseorang kendatimampu memaksa yang lahiriyahnya. Oleh sebab itu rakyat atau bawahanpun harus bertanggung jawab terhadap akidahnya dan perbuatannya kendati di sana ada perintah dan larangan pimpinan.
Berbeda dengan hokum paksaan yang menimpa orang-orang lemah yang yeryindas penguasa yangmengancam akan membunuhnya dan memang bisa di laksanakan. Hal ini pernah terjadi pada masa awal islam di Makkah di mana orang-orang yang masuk islam di paksa harus murtad seperti Billal BIN Rabbah, keluarga Yasir DST. Mereka di paksa menyatakan kekufuran. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar(Qs. An-Nahl 106).
Kewajiban berhijrah di jalan Allah dan balasannya 97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?." Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?." Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, |
[342]. Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu. 98. kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), 99. mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Qs. An –Nisa 97-99) Tanggung jawab seseorang berkaitan erat dengan kewajiban yang di bebankan padanya. Semakin tinggi jabatannya di msyarakat maka semakin tinggi pula tanggungjawabnya. Seorang pemimpin Negara bertanggung jawab atas perilaku dirinya , keluarganya, saudara-saudaranya, masyarakat dan rakyatnya. Hal ini di tegaskan Allah SWT. 6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Qs At tahrim 6) sebagai mana di perintahkan Rosulullah SAW …: setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan di minta pertanggung jawabannya….’’(Al-Hadits) Tanggung jawab vertical ini bertingkat-tingkat tergantung levelnya. Kepala keluarga, kepala desa, camat, bupati, gubernur,dan kepala Negara, semua itu di mintai pertanggung jawabannya sesuai dengan ruang lingkup yang di pimpinnya. Seorang mukmin yang cerdas tidak akan menerima kepemimpinan itukecuali dengan ekstra hati-hati dan senan tiasa memperbaiki dirinya, keluarganya dan semua yang menjadi tanggung jawabnya. Para shalafus shalihin banyak yang menolak jabatan sekiranya ia tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Pemimpin dalam level apapun akan di mintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah SWT atas semuaperbuatannya di samping seluruh apa yang terjadi padarakyat yang di pimpinnya. Baik dan buruknya perilaku dan keadaan rakyat tergantung pada pemimpin. Bila mereka memilih pemimpin yang bodoh dan tidak memiliki kapabilitas sehingga kelak pemimpin itu akan membawa rakyatnya kepada jurang kedurhakaan rakyat juga di bebani dengan beban itu. Seorang penguasa tidak akan terlepas dari beban berat tersebut, kecuali bila selalu melakukan control, mereformasi yang rusak kepada rakyatnya, menyingkirkan orang-orang yang tidak amanah dan menggantinya dengan orang-orang yang shaleh. Pertolongan Allah SWT tergantung niat sesuai dengan firman Allah, HATI-HATILAH TERHADAP KEHIDUPAN DUNIAWI 11. Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (At-Taghobun 11) ….WALLAHU A’LAM…. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar